PERKEMBANGAN
SISTEM PEREKONOMIAN
SEBELUM
ORDE BARU
PENDAHULUAN
Sudah
hampir 66 tahun Indonesia merdeka. Akan tetapi kondisi perekonomian Indonesia
tidak juga membaik. Masih terdapat ketimpangan ekonomi, tingkat kemiskinan dan
pengangguran masih tinggi, serta pendapatan per kapita yang masih rendah. Untuk
dapat memperbaiki sistem perekonomian di Indonesia, kita perlu mempelajari
sejarah tentang perekonomian Indonesia dari masa orde lama hingga masa
reformasi. Dengan mempelajari sejarahnya, kita dapat mengetahui
kebijakan-kebijakan ekonomi apa saja yang sudah diambil pemerintah dan
bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia serta dapat memberikan
kontribusi untuk mengatasi permasalah ekonomi yang ada. Sistem perekonomian
Indonesia dibagi menjadi 3 yaitu Pemerintahan pada masa orde lama, orde baru,
dan reformasi. Tapi di sini saya khusus membahas membahas sistem ekonomi pada
maasa orde lama.
Sejak berdirinya negara RI, sudah
banyak tokoh-tokoh negara pada saat itu yang telah merumuskan bentuk
perekonomian yang tepat bagi bangsa Indonesia, baik secara individu maupun
diskusi kelompok. Seperti Bung Hatta sendiri, semasa hidupnya mencetuskan ide,
bahwa dasar perekonomian Indonesia yang sesuai cita-cita tolong menolong adalah
koperasi namun bukan berarti semua kegiatan ekonomi harus dilakukan secara koperasi,
pemaksaan terhadap bentuk ini justru telah melanggar dasar ekonomi koperasi.
Demikian juga dengan tokoh ekonomi
Indonesia saat itu, Sumitro Djojohadikusumo, dalam pidatonya di Amerika tahun
1949, menegaskan bahwa yang dicita-citakan adalah ekonomi semacam campuran.
Menurut UUD 1945, sistem perekonomian Indonesia tercantum dalam pasal-pasal 23,
27, 33 & 34. Demokrasi Ekonomi dipilih karena memiliki ciri-ciri positif
yang di antaranya adalah (Suroso, 1993) Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yang di kuasai oleh negara.
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pengawasan terhadap
kebijaksanaannya serta sumber-sumber kekuatan dan keuangan negara digunakan
dengan permufakatan lembaga-lembaga perwakilan rakyat.
Warga negara memiliki kebebasan
dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan
pekerjaan dan kehidupan yang layak. Hak milik perorangan diakui dan
pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
PEMERINTAHAN SEBELUM ORDE LAMA
1.
Masa Penjajahan
Saat masih dalam penjajahan, perekonomian Indonesia
dikuasai oleh negara asing (penjajah). Saat masa penjajahan Belanda, VOC
didirikan untuk memonopoli perdagangan di Indonesia. VOC memiliki Hak Octrooi,
yang berisi :
Ø Hak
mencetak uang
Ø Hak
mengangkat dan memberhentikan pegawai
Ø Hak
menyatakan perang dan damai
Ø Hak untuk
membuat angkatan bersenjata sendiri
Ø Hak untuk
membuat perjanjian dengan raja-raja
Oleh
karena itu, pada saat Belanda menjajah Indonesia, perekonomian Indonesia
dikuasai Belanda sepenuhnya.
2.
Masa Orde Lama
Sejak berdirinya negara RI, sudah banyak tokoh-tokoh
negara pada saat itu yang telah merumuskan bentuk perekonomian yang tepat bagi
bangsa Indonesia, baik secara individu maupun diskusi kelompok.
Seperti Bung Hatta sendiri, semasa hidupnya
mencetuskan ide, bahwa dasar perekonomian Indonesia yang sesuai cita-cita
tolong menolong adalah koperasi (Moh Hatta dalam Sri-Edi Swasono, 1985) namun
bukan berarti semua kegiatan ekonomi harus dilakukan secara koperasi, pemaksaan
terhadap bentuk ini justru telah melanggar dasar ekonomi koperasi.
Demikian juga dengan tokoh ekonomi Indonesia saat
itu, Sumitro Djojohadikusumo, dalam pidatonya di Amerika tahun 1949, menegaskan
bahwa yang dicita-citakan adalah ekonomi semacam campuran.
Menurut UUD 1945, sistem perekonomian Indonesia
tercantum dalam pasal-pasal 23, 27, 33 & 34. Demokrasi Ekonomi dipilih karena
memiliki ciri-ciri positif yang di antaranya adalah (Suroso, 1993):
·
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan.
·
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
& menguasai hajat hidup orang banyak yang di kuasai oleh negara.
·
Bumi, air & kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara & dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
· Pengawasan terhadap kebijaksanaannya serta
sumber-sumber kekuatan & keuangan negara digunakan dengan permufakatan lembaga-lembaga
perwakilan rakyat.
· Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih
pekerjaan yang dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan & kehidupan
yang layak.
· Hak milik perorangan diakui & pemanfaatannya
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
· Potensi, inisiatif & daya kreasi setiap warga
negara dikembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan
kepentingan umum.
·
Fakir miskin & anak-anak terlantar di pelihara
oleh Negara.
Dengan demikian di dalam perekonomian Indonesia tidak
mengijinkan adanya :
1. Free fight
liberalism, yaitu adanya suatu kebebasan usaha yang tidak
terkendali sehingga memungkinkan terjadinya eksploitasi kaum ekonomi yang lemah
dan terjajah dengan akibat semakin bertambah luasnya jurang pemisah si kaya dan
si miskin.
2.
Etatisme, yaitu keikutsetaan pemerintah
yang terlalu dominan sehingga mematikan motivasi dan kreasi masyarakat untuk
berkembang dan bersaing secara sehat. Jadi masyarakat hanya bersikap pasif saja
3.
Monopoli,suatu bentuk pemusatan kekuatan
ekonomi pada satu kelompok tertentu, sehingga tidak memberikan pilihan lain
pada konsumen untuk tidak mengikuti keingian sang monopoli. Disini konsumen
seperti robot yang diatur untuk mengikuti jalannya permainan.
Meskipun pada awal perkembangannya perekonomian Indonesia
menganut sistem ekonomi Pancasila, Demokrasi Ekonomi & ‘mungkin campuran’,
namun bukan berarti system perekonomian liberalis & etatisme tidak pernah
terjadi di Indonesia. Awal tahun 1950an- 1957an merupakan bukti sejarah adanya
corak liberalis dalam perekonomian Indonesia. Demikian juga dengan sistem
etatisme, yang mewarnai sistem perekonomian Indonesia pada tahun 1960an sampai
dengan masa orde baru.
Keadaan ekonomi Indonesia antara tahun 1950- 1965an
sebenarnya telah di isi dengan beberapa program & rencana ekonomi
pemerintah. Di antara program-program tersebut adalah:
a. Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai mata
uang (sanering) untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga
turun.
b. Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan
semangat berwirausaha para pengusaha pribumi dan mendorong importir nasional
agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang
tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya kepada importir pribumi serta
memberikan kredit pada pengusaha pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi
dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal karena sifat
pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan
pengusaha non-pribumi.
c. Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank
Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai
bank sentral dan bank sirkulasi.
d. Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo
I) , yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi.
Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan kepada pengusaha
pribumi. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi pengusaha swasta
nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik karena pengusaha pribumi
kurang berpengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan
kredit dari pemerintah.
e. Program / Sumitro Plan tahun 1951
f. Rencana Lima Tahun Pertama tahun 1955 – 1960
g. Rencana Delapan Tahun
h. Pembatalan sepihak atas hasil perjanjian KMB,
termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda
yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha – pengusaha pribumi belum bisa
mengambil alih perusahaan – perusahaan tersebut.
Walaupun
demikian, semua program & rencana tersebut tidak memberikan hasil yang
berarti bagi perekonomian Indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan
adalah:
Ø Program-program
tersebut disusun oleh tokoh-tokoh yang relative bukan di bidangnya, namun oleh
tokoh politik, dengan demikian keputusan-keputusan yang dibuat cenderung
menitikberatkan pada masalah politik, bukan masalah ekonomi.
Ø
Kelanjutan dari akibat di atas, dana negara yang
seharusnya di alokasikan untuk kepentingan kegiatan ekonomi, justru di
alokasikan untuk kegiatan politik & perang.
Ø
Faktor berikutnya adalah terlalu pendeknya masa
kerja setiap kabinet yang dibentuk (setiap parlementer saat itu). Tercatat
tidak kurang dari 13x kabinet yang berganti pada ssat itu. Akibatnya
program-program & rencana ekonomi yang telah disusun masing-masing kabinet
tidak dapat dijalankan dengan tuntas.
Ø
Disamping itu program & rencana yang disusun
kurang memperhatikan potensi & aspirasi dari berbagai pihak. Selain itu,
putusan individu & partai lebih di dominankan daripada kepentingan
pemerintah & negara.
Ø Cenderung
terpengaruh untuk menggunakan sistem perekonomian yang tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia (liberalis, 1950- 1957) & etatisme (1958-
1965)
Akibat yang ditimbulkan dari system etatisme yang
pernah ‘terjadi’ di Indonesia pada periode tersebut, dapat dilihat dari
bukti-bukti berikut:
Ø Semakin
rusaknya sarana-sarana produksi & komunikasi, yang membawa dapak menurunnya
nilai ekspor kita.
Ø
Hutang luar negeri yang justru dipergunakan untuk
proyek ‘Mercu Suar’
Ø
Defisit anggaran negara yang makin besar &
justru ditutup untuk mencetak uang baru, sehingga inflasi yang tinggi tidak
dapat di cegah kembali.
Ø Keadaan
tersebut masih di perparah dengan laju pertumbuhan penduduk sebanyak 2,8% yang
lebih besar dari laju pertumbuhan ekonomi saat itu yakni 2,2%
PEMERINTAHAN PADA MASA ORDE LAMA
Pemerintahan pada masa orde lama dibagi menjadi
tiga yaitu:
a.
Masa pasca
Kemerdekaan (1945-1950)
Pada masa awal kemerdekaan,
keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, yang antara lain disebabkan oleh :
- Inflasi yang sangat tinggi, hal ini disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javashe Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
- Adanya blockade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
- Kas Negara kosong
- Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan
Usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengatasi kesulitan ekonomi,antara lain :
- Program Pinjaman Nasional, Mentri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP melakukan pinjaman ke negara lain pada bulan Juli 1946
- Upaya menembus blockade dengan diplomasi beras ke India (India merupakan Negara yang mengalami nasib yang sama dengan Indonesia yaitu sama-sama pernah dijajah, Indonesia menawarkan bantuan berupa padi sebanyak 500.000 ton dan India menyerahkan sejumlah obat-obatan kepada Indonesia),mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blockade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
- Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
- Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
- Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).
b.
Masa
Demokrasi Liberal (1950-1957)
Pada masa ini, sistem politik dan
sistem ekonomi Indonesia menggunakan prinsip – prinsip liberal. Perekonomian
diserahkan pada pasar, padahal pada kenyataannya pengusaha pribumi masih lemah
dan belum bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi. Pada akhirnya sistem ini
hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
- Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai mata uang (sanering) untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
- Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi. Pada kabinet ini untuk pertama kalinya terumuskan suatu perencanaan pembangunan yang disebut Rencana Urgensi Perekonomian (RUP)
- Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. (Kabinet Sukiman)
- Sistem ekonomi Ali (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. (Kabinet ini sangat melindungi importer pribumi, sangat berkeinginan mengubah perekonomian dari struktur colonial menjadi nasional)
- Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut. (Kabinet Burnahudin)
c.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit
presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan
struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur
oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran
bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi. Akan tetapi,
kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu
memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
1. Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959
menurunkan nilai uang sebagai berikut: Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp
50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang
melebihi 25.000 dibekukan.
2. Pembentukan Deklarasi Ekonomi
(Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialisIndonesiadengan cara terpimpin. Dalam
pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia.
Bahkan pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.
3. Devaluasi yang dilakukan pada 13
Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang
rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di
masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka
tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka
inflasi.
PENUTUP
Dalam perekonomian Indonesia tidak
mengijinkan adanya :
- Free fight liberalism, yaitu adanya suatu kebebasan usaha yang tidak terkendali
- Etatisme, yaitu keikutsetaan pemerintah yang terlalu dominan
- Monopoli,suatu bentuk pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok tertentu,
Meskipun pada awal perkembangannya
perekonomian Indonesia menganut sistem ekonomi Pancasila, Demokrasi Ekonomi dan
“mungkin campuran”, namun bukan berarti sistem perekonomian liberalis dan
etatisme tidak pernah terjadi di Indonesia. Awal tahun 1950an- 1957an merupakan
bukti sejarah adanya corak liberalis dalam perekonomian Indonesia.
Demikian juga dengan sistem etatisme, yang mewarnai sistem perekonomian
Indonesia pada tahun 1960an sampai dengan masa orde baru
Walaupun demikian, semua program dan rencana tersebut
tidak memberikan hasil yang berarti bagi perekonomian Indonesia. Beberapa
faktor yang menyebabkan kegagalan adalah:
·
Program-program
tersebut disusun oleh tokoh-tokoh yang relatif bukan di bidangnya, namun oleh
tokoh politik, dengan demikian keputusan-keputusan yang dibuat cenderung
mentitikberatkan pada masalah politik, bukan masalah ekonomi.
·
Kelanjutan
dari akibat di atas, dana negara yang seharusnya di alokasikan untuk
kepentingan kegiatan ekonomi, justru di alokasikan untuk kegiatan politik &
perang.
·
Faktor
berikutnya adalah terlalu pendeknya masa kerja setiap kabinet yang dibentuk
(setiap parlementer saat itu). Tercatat tidak kurang dari 13x kabinet yang
berganti pada ssat itu. Akibatnya program-program dan rencana ekonomi yang
telah disusun masing-masing kabinet tidak dapat dijalankan dengan tuntas.
·
Disamping
itu program dan rencana yang disusun kurang memperhatikan potensi dan aspirasi
dari berbagai pihak. Selain itu, putusan individu dan partai lebih di
dominankan daripada kepentingan pemerintah dan negara.
·
Cenderung
terpengaruh untuk menggunakan sistem perekonomian yang tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia (liberalis, 1950- 1957) dan etatisme (1958- 1965).
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar